Penyakit demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Insidens demam
tifoid masih tinggi meskipun komplikasi dan angka kematian sudah menurun dengan upaya diagnosis cepat dan pemberian antibiotik yang tepat.
Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6%–5,0%. Obat-obat lini pertama dalam pengobatan demam tifoid adalah kloramfenikol, tiamfenikol atau ampisilin/amoksisilin.
Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Umumnya perbaikan klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal dalam waktu 3-6 hari,dengan lama pengobatan antara 7-14 hari. Namun demikian, dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap Salmonella typhi (multiple drugs resistance (MDR)). Disamping itu pemakaian kloramfenikol dapat menimbulkan efek samping berupa penekanan sumsum tulang dan yang paling ditakuti terjadinya anemia aplastik.
Kloramfenikol dan tiamfenikol masih cukup sensitif untuk demam tifoid. Tiamfenikol adalah turunan kloramfenikol yang juga aktif terhadap spesies Salmonella dan dapat diberikan secara oral. Obat dapat diberikan dengan dosis lebih kecil, interval lebih lama, dengan angka kekambuhan, dan pengidap kuman (carrier) yang terjadi lebih sedikit. Walaupun dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, tetapi hampir tidak pernah terjadi anemia aplastik. Pada pasien demam tifoid usia remaja dan dewasa didapatkan suhu kembali normal dalam waktu 3-5 hari dan lama pengobatan sekitar 7-14 hari. Dalam pengobatan demam tifoid pada anak tiamfenikol dapat dijadikan sebagai obat pilihan pertama menggantikan kloramfenikol, walaupun masih perlu penelitian lebih lanjut oleh karena belum dapat dilihat angka kekambuhan dan pengidap kuman setelah pengobatan.
Sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, sefiksim), fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin) dan azitromisin saat ini sering digunakan untuk mengobati demam tifoid MDR.
Kloramfenikol dan tiamfenikol masih cukup sensitif untuk demam tifoid. Tiamfenikol adalah turunan kloramfenikol yang juga aktif terhadap spesies Salmonella dan dapat diberikan secara oral. Obat dapat diberikan dengan dosis lebih kecil, interval lebih lama, dengan angka kekambuhan, dan pengidap kuman (carrier) yang terjadi lebih sedikit. Walaupun dapat menyebabkan depresi sumsum tulang, tetapi hampir tidak pernah terjadi anemia aplastik. Pada pasien demam tifoid usia remaja dan dewasa didapatkan suhu kembali normal dalam waktu 3-5 hari dan lama pengobatan sekitar 7-14 hari. Dalam pengobatan demam tifoid pada anak tiamfenikol dapat dijadikan sebagai obat pilihan pertama menggantikan kloramfenikol, walaupun masih perlu penelitian lebih lanjut oleh karena belum dapat dilihat angka kekambuhan dan pengidap kuman setelah pengobatan.
Sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, sefiksim), fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin) dan azitromisin saat ini sering digunakan untuk mengobati demam tifoid MDR.
Daftar Pustaka:
1. Rampengan,N.H. Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/RSU Prof.Dr.R.D. Kandou,Manado. Sari Pediatri. 2013;14(5):271-6.
2. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ 2004;82:346-53.
3. Nathin MA, Ringoringo P, Tambunan T. Antibiotic resistance pattern of paediatric typhoid fever patients at the departement of child health, Cipto Mangun-kusumo, Jakarta in 1990-1994. Dalam: Nelman RHH, penyunting. Typhoid fever, profil, diagnosis and
treatment in the 1990’s. The first ISAC International Symposium. Sanur Bali;1990.h.194-205.
4. Azhali MS. Pengelolaan demam tifoid. Dalam: Naskah lengkap simposium Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X. KONIKA Bukit Tinggi;1996.h.75-84.
5. Mirza SH. The prevalence and clinical features of multidrug resistant Salmonella typhi infections in Baluchistan, Pakistan. Ann of Trop Med and Parasitol 1995;89:513-9.
Post a Comment